Sunday, January 4, 2009

Gara-gara “anuku..”


Hari itu. Dipagi hari yang cerah matahari pun tampak gembira mengawali hari. “Aduuuh… .” aku merintih kesakitan. Sakit karena badan yang tadinya segar bugar. Sekarang jadi tak berdaya. Mirip kakek tua yang sudah jompo. Ini disebabkan karena anuku. Anuku tidak berbentuk seperti biasa lagi. Berubah. Berubah . beda seperti biasanya. Seperti dipagi biasanya. Ibu yang paling cantik kata bapak si begitu. Sedang masak didapur yang berada disudut rumah. Dapur yang bersih walau tak besar. Hanya dapur biasa. Yang tak megah.

”Ferri sudah bangun kah kau?” ibu memanggil sambil memotong sayur untu dimasaknya.

”Udaaaahhh..”seakan aku manantangnya.

Di bagian rumah. Masih drumahku. Adikku yang masih tidur lelap. Sesekali mengorok. ”Woi Cil bangun Cil.” Aku membangunkan dengan mendorong-dorong tubuh kecilnya. Tingginya sekitar seperutku. Biasa dipanggil Kancil. Mungkin karena tubuhnya. Dan, tingkahnya. “Apaan sih ganggu orang tidur aj.” aku sambil didorongnya keluar.

Tubuhku yang masih lemas. Tidak berdaya. Ingin sekali bermain. Bermain sepak bola. Teman-teman biasanya bermain di lapangan. Yang tak jauh dari rumah. Tepat disamping pos Satpam. Yang kecil. Sedikit kumuh. Karena jarang di bersihkan. Bahkan tidak pernah.

Dirumah. Aku hanya bisa berjalan pelan-pelan. Seperti kakek tua. Dengan sesekali memegang dinding. Ibu sudah selesai masak. Seperti masak masakan kesukaankku. Benar. Ternyata penciumanku masih tajam.

”Ibu tahu aj aku mau makan ini.”

”Iyalah nak aku masak buat kau. Kau kan sedang sakit. Jadi kumasakan ini. Senang tidak kau?”

Senanglah bu” sambil menjulurkan lidahku. Seperti anjing. Mirip anjing tetangga.

Sehabis makan badanku terasa lebih enak. Lebih berenergi. Karena semalam hanya makan sedikit. Sesendok lebih kira-kira. Karena tidak bisa menahan sakit. Sakit sekali semalam. Sampai susah untuk tidur. Tapi bisa tidur walau malam sudah larut. Sekitar jam 12.00

Di luar rumahku.

Ferri..Ferri..” temanku memanggil sambil satu dua kali menekan bel yang ada pada tembok pagar. ”Seperti suara si Yono.” dalam hatiku sambil berjalan pelan-pelan keluar rumah. Kedepan teras.

”Ada apa Yon tumben kau kerumahku?”

”Kenapa kau tidak main sepak bola tadi?” sambil berjalan masuk kerumahku.

”Aku sedang sakit Yon. Badanku lemas. Hanya bisa berjalan pelan-pelan.”

”Gara-gara apa kau sakit?” dia kembali bertanya. Dengan muka jeleknya yang penasaran.

“Ini gara-gara anuku Yon.”

Yonopun lari. Seperti di kejar anjing. Tapi didekar rumah tidak ada anjing. Dulu ada. Tetanggaku punya. Tetangga sebelah rumahku. Tapi sudah lama mati karen sakit. ”Yono kenapa ya? Seperti ketakutan. Saat tadi aku bilang sakitku gara-gara anuku.” aku bertanya dalam hatiku.

Akupun berjalan masuk kerumah. Dengan pelan-pelan. Karena masih terasa sakit tubuhku. Baru sampai pintu rumah. Teman-temanku kerumah. Beserta si Yono. Yang tadi lari ketakutan.

“Woi Fer kau kenapa? Kata si Yono kau sedang sakit.” Salah satu dari kerumunan temanku bertanya. Vino nama temanku yang bertanya.

”Ini gara-gara anuku. Makanya aku jadi begini.”

Teman-temanku serentak memajang muka ketakutan. Si Yonopun juga dengan muka jeleknya.

”Anumu kenapa Fer? Kau kena sipilis atau kau habis minum obat kuat terus tidak bisa turun lagi?” Vino kembali bertanya

Teman-temanku semakin memasang muka ketakutan. Tapi sesekali aku melihat mereka semakin penasaran. Penasaran aku kenapa?.

”Bukan dodol.” akupun jawab sambil tertawa terbahak-bahak.

”Terus?” dengan kompaknya Yono dan Vino langsung menyanggah jawabanku.

”Ini gara-gara anuku. Itu. Motorku. Vespa tuaku itu. Kemarin aku nabrak pohon. Karena rem vespaku tidak pakem. Bahkan hampir tidak ada.”masih dengan tertawaku menjawabnya.

”Tadi aku baru mau ngomong ke Yono. Tapi dia malah lari. Seperti dikejar anjing saja.”

Teman-temanku pun ikut tertawa. Tertawa sampai terdengar keras. Seakan ada apa dirumahku. Mereka tertawa sambil memukul-mukul Yono yang tadi salah tangkap. Aku sedang sakit apa?.

No comments:

Post a Comment

"life is like a box of chocolate we never know what gonna we get"